Musibah, selalu mengingatkan saya pada Merapi, gunung berapi di Yogyakarta. Ketika Merapi menunjukkan keganasannya, beberapa waktu yang lalu, tak ada yang dapat mengesampingkan peran relawan, baik yang terorganisasi baik maupu yang datang sendirian, yang paruh waktu maupun yang sepanjang waktu mengulurkan bantuannya. Mereka adalah para pahlawan.
Begitu juga di tempat musibah-musibah yang lain. Tsunami Aceh, Gempa Jogja, Bom Bali. Selalu ada hati malaikat dalam wujud manusia yang siap mengulurkan tangan, memberikan bantuan nyata kepada sesamanya yang kemalangan. Entah dari mana, entah pula kemana mereka setelahnya.
Apa yang mendorong mereka selain, kepekaan akan penderitaan orang lain, keinginan menolong yang dilandasi empati pada sesama manusia?
Kepekaan dan empati haruslah selalu diasah, diajarkan, dan dilatih. Kita tentu saja tidak dapat mengharapkan seorang anak tidak pamer, bersikap penolong dan suka membesarkan hati teman-temannya ketika tidak ada contoh di rumahnya, tidak pernah diajarkan di sekolahnya, dan tidak pernah diketahuinya dari lingkungannya.
Ketidakpekaan mendorong pada ketidakpedulian dan sikap apatis. Ketidakpedulian akan berlanjut pada sikap merendahkan, bahkan menjadikan musibah sebagai bahan olok-olok, seperti terlihat pada tulisan ini
Tetapi saya justru prihatin pada ketidakpekaan itu sendiri. Anak yang menuliskan "twit" itu menuliskannya di ruang publik, sehingga cepat dikoreksi dan direspon orang lain. Bagaimana dengan ungkapan verbal yang tidak terekam, yang sering kita dengar (bahkan mungkin kita ucapkan) tentang musibah atau kemalangan orang lain? Sudah saatnya kita mengatakan Tidak pada ketidakpekaan seperti ini.
Kita hidup di negeri yang menyedihkan, di mana respon pemerintah pada saat bencana masih jauh dari sempurna. Kita seakan dibiarkan sendirian, tidak ada jaminan keselamatan ketika kita di jalan, di rumah, apalagi ketika di kendaraan umum. Prosedur pencegahan kecelakaan tidak dijalankan, banyaknya persilangan rel kereta dan jalan yang tidak aman, petugas yang tidak kompeten, semua dianggap biasa saja. Bencana transportasi seharusnya dapat dan harus dicegah, dan untuk itu, keselamatan transportasi harus dianggap serius oleh penyelenggara negara.
Bagaimana kita mau menyuruh pemerintah untuk serius, kalau kita menjadikannya olok-olok? Kita bisa melakukan sesuatu jika kita mau dan serius. Kisah Koin untuk Prita, dapat menjadi bukti bahwa kita pun dapat berbuat sesuatu yang mempunyai dampak luas di ranah publik. Kita bisa melakukan tekanan agar pemerintah memperlakukan kita sebagai manusia, partner, bukan hanya beban dalam hitungan angka, jika kita sendiri peka terhadap penderitaan sesama, mau peduli, mau berbagi, mau berbuat. Hidup kita bukan hanya milik kita sendiri.
Enough with being selfish, the future is yours! Bukalah wawasan lebih luas, pergunakan teknologi untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan jaringan pergaulan yang memperkaya hidup. Jangan menyia-nyiakan teknologi hanya untuk olok-olok yang tidak bermutu, menghabiskan waktu secara sia-sia yang justru mencelakakan kita sendiri.
Cileungsi, 10 desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar