
Sabtu, 26 April 2008
Pagi di Salakan,
mbak Utari sang preman manuran, sudah ngajak ke pasar Beringhardjo, Jogja, mencari bakul untuk nyuci beras (disebut juga
tenggok) yang ukuran jumbo. Ternyata, pagi itu, matahari lagi "murah hati" di Jogja.. puanas gak kira - kira!
Jadilah, dengan boncengan motor, menantang matahari, kami berdua menuju pasar Beringhardjo, sempat mampir di Ngasem, beli bakiak alias
theklek :) Sampai di pasar Beringhardjo, seperti sudah diduga, pasar itu puenuh berjubel,
suk - suk an, membuat suasana tambah hot! Tujuan membeli
tenggok tertunda sejenak sewaktu kami melewati deretan penjual kain. Mbak Utari memilih - milih dan akhirnya memutuskan membeli bahan brokat merah menyala (hiii... melihatnya saja sudah
sumuk a.ka gerah bangettt..) plus kain pelapis yang lebih menyala lagi. Setelah itu perburuan
tenggok dilanjutkan lagi.
Di lantai 2 belakang, kami menemukan deretan penjual barang kerajinan dari bambu, seperti
tampah, tenggok, kalo.. dll.. dan transaksi pun terjadi. Setelah tawar menawar, Mbak Utari akhirnya membeli 10 buah
tenggok seharga 20.000 rupiah, jadi semuanya Rp 200.000. Si Mbak penjual pun tersenyum lebar, begitu senangnya sampai memberikan nomer hapenya, siapa tahu kita mau beli "partai besar" lagi.
Setelah menitipkan
tenggok untuk di
packing, kami menuju sasaran berikutnya: makan! Gak perlu jauh jauh, di lantai yang sama, kami menyantap
empal Bu Warno dan
gado - gado Bu Hadi yang sudah terkenal itu. (Belum kenal? .. hehe.. coba dong!
maknyuss tenan..)
Perut kenyang, kami mengambil lagi bungkusan
tenggok (dipacking dengan karung plastik gueddhhe...) kami turun, bungkusan tenggok dibawa oleh
simbah simbah buruh gendong. Hehe.. kebayang nggak sih, dua preman jalan melenggang, di belakangnya simbah simbah terbungkuk bungkuk menggendong belanjaan kami :D
Karena jelas gak mungkin membawa bungkusan raksasa itu dengan sepeda motor, kami pun berpisah. Mbak Utari naik taxi dengan bungkusan, saya mengikutin dengan sepeda motor di belakangnya. Kami menuju kantor pusat Tiki untuk langsung memaketkan si bungkusan ke Sorong, Papua :)
Sampai di Tiki, si mas petugas langsung bilang, "Wah ini harus berat kali volume nih.. " sambil ngukur - ngukur berat, tinggi, lebar, dan panjang paket. Bungkusan tenggok ini memang aneh, beratnya nggak seberapa (ditenteng satu tangan juga bisa) tapi guedhenya itu lho, makan tempat! Kemudian dengan sopan kami dipersilahkan ke ruang tunggu yang ber-AC. "Ke sorong berapa, Mbak?," tanya Mbak Utari.
"
7 kg (berat) x 46 inchi (volume) x Rp 18.000, jadinya... Rp 5.796.000"
"Hahhhh...!!!!" mbak Utari langsung kliatan syok berat mendengarnya.. "Nggak dehhh!!!!"
Akhirnya dengan berat hati, kami pun mencari becak untuk membawa bungkusan
tenggok ke Salakan... Lima juta Boooo.....
Dikirim, lima juta sekian, gak dikirim, sia -sia dong duit 200.000..
Ada saran?